Rabu, 30 Mei 2018

Story 2: Negosiasi dari Permasalahan


Di sebuah ruang tamu rumah sederhana di tengah perkebunan karet, kami berempat duduk di atas sofa hijau. Adzan ashar sebentar lagi berkumandang. Sigit, aku, dan temanku mendengarkan setiap perkataan bapaknya. Tak hanya perkataan, setiap gerak geriknya pun aku perhatikan dalam berkecamuknya perasaanku. Terlihat bapaknya menghisap dan mengeluarkan asap rokok dari mulutnya tanpa henti. Tangannya masih gemetar memegang putung rokok. Putung rokok mungkin menjadi obat penenang baginya sampai beberapa menit kemudian ia agak tenang dan tetap melanjutkan pembicaraannya.

Semakin lama dan seksama ku dengarkan, bapaknya mulai membela anaknya, Sigit. Keadaan yang seharusnya tak perlu ku ragukan dan membuatku heran. Tak ada orang tua yang tak membela anaknya. Dengan kondisi seperti itu, semakin terlihat jelas siapa lawan dan siapa kawan.

Permasalahan utang piutang memang rumit dan pasti melibatkan keluarga pada akhirnya. Permasalahan utang piutang antara aku dan Sigit memang kompleks dan rumit. Sama rumitnya dengan awal pertemanan kami sampai dengan hubungan kekasih yang hampir menikah. Permasalahan ini pun menjadi masalah yang paling besar dalam sejarah hidupku. Sama besarnya seperti jumlah utang Sigit kepadaku.

Jika saja Sigit adalah anak Direktur Utama perusahaan besar atau aku adalah anak Presiden, mungkin jumlah utangnya dapat diselesaikan dalam sekejap mata. Tapi kami hidup sebagai anak orang yang sederhana. Sigit berutang kepadaku sejak kami saling mengenal 6 tahun yang lalu dan berakhir dengan jumlah utang sebesar 150 juta rupiah. Tak hanya itu, ia juga berhasil memperoleh mobil dengan membuatku berutang ke bank sebesar 100 juta rupiah yang diangsur per bulan selama 6 tahun.

Besar jumlah utang Sigit dan konsekuensi atas angsuran kepada bank yang meyakinkanku untuk menginjakkan kaki di rumah sederhana di tengah perkebunan karet itu. Yakin saja tak cukup bagiku, aku butuh senjata dan amunisi. Senjata dan amunisi yang ku persiapkan adalah teman di sampingku, Amir. Dia adalah pengacara yang dikenalkan seseorang kepadaku, dan seseorang itu bernama Khoir yang sedang menunggu kami di mobil bersama driver kami, Miskun.

Tak hanya senjata dan amunisi. Strategi juga dibutuhkan dalam hal ini. Pada awal pembicaraan dengan keluarganya, aku memperkenalkan seseorang di sampingku sebagai teman. Tapi melihat kecenderungan mereka yang menolak menuliskan perjanjian di atas kertas, akhirnya teman di sampingku memperkenalkan diri sebagai pengacara atas kuasa dariku. Sejak itu mereka mulai melunak dan mulai sepakat untuk menyusun surat perjanjian.

Tak lama berselang, tiba-tiba bapak Sigit berpamitan masuk ke kamarnya menemui ibu Sigit sebentar. Beberapa menit setelahnya bapak Sigit memanggilku agar aku menemui ibu tiri Sigit di kamarnya. Aku memenuhi keinginannya untuk menemui ibunya di kamar.

Tangis ibunya pecah di kamar saat itu juga ketika aku duduk di kasur tempat ibunya merebahkan badan. Aku tak kuasa menahan tangis karena kedatanganku membawa kesedihan di keluarganya. Tapi bagaimanapun kondisinya, ini adalah jalan yang ku pilih demi kembalinya hak ku. Yang bisa ku lakukan dalam kondisi seperti itu hanyalah meminta maaf kepada ibunya atas jalan yang ku pilih dan aku pun menyampaikan betapa pentingnya membayar utang.

Masih dalam sendu tangisnya, ayah Sigit dan Sigit menghampiri kami di kamar. Ada sesuatu yang ku rasakan aneh. Di tengah kesibukan bapak Sigit yang ikut meredakan tangis istriya, Sigit menatap ibu tirinya tanpa empati. itu yang nilai dari penglihatanku. Aku ragu apakah ini hanya drama. Jika memang ini drama semata, mereka berhasil melelehkan tangisku tapi tak berhasil meluluhkan pendirianku untuk menyelesaikan masalah ini.

Setelah sedikit lega karena tangis ibunya mulai reda, Amir dengan ditemani Khoiru mulai melanjutkan negosiasi mengenai siapa yang menjadi saksi dari pihak Sigit yang bersedia menandatangani perjanjian. Dari pihakku, Khoiru yang menjadi saksi. Sedangkan bapak Sigit tidak bersedia menjadi saksi dari pihak Sigit. Dari sini aku berhasil membuktikan pepatah lama, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Like father like son. Ketika teman pengacaraku, Amir mengusulkan Lurah setempat sebagai saksi, bapak Sigit seperti kembali menolaknya. Negosiasi terus berjalan antara teman pengacaraku dan keluarganya. 

Belum diperoleh kesepakatan tentang saksi, aku memutuskan sholat ashar di rumah itu. Khoiru mulai menemani  Setelah aku sholat ashar, tanpa sepengetahuan Amir dan Khoiru, bapak Sigit membawaku ke sebuah sisi ruangan di rumah itu. Ia membawa Sigit ke sisi ruangan itu dan menjadi penengah antara kami berdua. Muncul ketakutan di benakku, apakah aku akan dilukai. Tapi bagusnya itu hanyalah ketakutan semata karena tak lama kemudian, aku memutuskan menyelesaikan pembicaraan disana dengan berkata, "Ini jalan terbaik yang saya pilih. Kita buat saja perjanjiannya dan dijalankan sesuai perjanjian supaya masalahnya cepat selesai".

Waktu menunjukkan pukul 5.30 WIB. Tanpa adanya keyakinan dari pihak Sigit mengenai siapa yang menjadi saksi, aku, Amir, Khoiru dan driver kami Miskun mulai meninggalkan rumah itu. Negosiasi selanjutnya dilanjutkan melalui sms antara Sigit dan Amir sebagai pengacaraku sejak matahari tenggelam sampai matahari di atas kepala keesokan hari.

Selasa, 17 Oktober 2017

Story 1: Pihakku dan Keluarganya

Di sebuah rumah sederhana di tengah perkebunan karet, aku bertemu dengan ibunya, bapaknya, dan adik-adiknya yang bernama Rhea, Gama, Lesta, dan Asya. Rhea adalah seorang anak gadis SMA sekaligus kakak wanita tertua di rumah itu. Gama adalah saudara laki-laki kandung Rhea yang masih bersekolah di SMP. Sedangkan Lesta dan Asya adalah anak balita yang menjadi saudara tiri Rhea dan Gama.

Di sebuah rumah sederhana di tengah perkebunan karet itu, ku berikan buah tangan kepada ibunya berupa buah pir dan klengkeng kepada ibunya. Tak lama berselang setelah ku letakkan buah tangan itu di dapur, aku kembali ke ruang tamu mereka. Aku duduk di sofa hijau yang mengelilingi meja kaca bersama seorang lelaki yang ku ajak berkunjung kesana. Ia bertubuh besar, mengenakan pakaian rapi dan kaca mata.

Tak lama berselang, muncul bapaknya yang baru saja pulang ke rumah. Aku awali pembicaraan dengan menanyakan segala sesuatu untuk menghangatkan suasana. Belum selesai aku berbasa-basi dengan bapaknya, temanku memberiku isyarat agar aku menjelaskan mengenai tujuan kami kesana. Tanpa berpikir panjang, aku bersiap menceritakan segalanya sesuai rencana. Setelah mengawali pembicaraan dengan memperkenalkan seorang laki-laki yang bersamaku adalah temanku, aku mulai menceritakan tujuanku kesana. Aku mengatakan kepada bapaknya bahwa anak sulungnya yang bernama Sigit telah melakukan pinjaman kepadaku sejak 6 tahun lalu sampai dengan saat ini dengan jumlah akumulasi yang sangat besar. Jika masih ada anak tahun 1990-an yang mengingat iklan wafer tango, mungkin boleh ku katakan utang Sigit sudah seperti lapisan wafer tango dengan angka 0 yang banyak di belakangnya. Ratusan juta rupiah.

Entah apa yang dipikirkan oleh bapaknya setelah aku menceritakan hal itu. Yang ku tahu, ia mulai menyalakan rokoknya sejak aku bercerita. Tak berhenti ia menghirup dan menghembuskan asap tebal dari mulutnya. Tak peduli siapa pun orang yang di ruangan itu ia terus merokok. Mungkin ia melakukannya untuk menutupi hatinya yang kecewa dan rapuh. Mungkin ia melakukannya untuk menutupi batin dan tangannya yang gemetar.

Di penghujung cerita tentang utang piutang itu, anak paling sulung di rumah itu datang. Sigit berjalan menghampiri ruang tamu tempat kami berbincang dengan membawa senyum ringan tanpa rasa berdosa. Bapaknya kembali menjelaskan tujuan dan maksud kedatanganku di rumah itu kepada Sigit. “Jadi Sita ini datang kemari untuk bersilaturahmi  ke keluarga kita sekalian menyelesaikan sesuatu yang belum kamu selesaikan, Git”, ujar bapaknya.

Belum sempat aku bercerita tentang perilaku anak sulungnya secara keseluruhan, bapaknya sudah mulai berbicara panjang lebar. Terlihat apa yang ia rasakan dari apa yang ia ungkapkan. Aku bisa melihat segala kekecewaan, kesedihan, penyesalan, dan malu. Meskipun semua itu ia rasakan, namun ia masih membela anaknya dengan caranya.

***

(to be continued)



Selasa, 15 Agustus 2017

Demi Kebaikan

Semua orang pernah merasakan sedih, bahagia, sedih lagi, bahagia lagi, dan seterusnya.
Semua orang pernah merasakan hidup susah, lalu bahagia, pedih, bahagia lagi, kecewa, muak, dan seterusnya.
Semuanya memiliki dinamikanya masing-masing yang membawa setiap orang pada kedewasaannya masing-masing.
Semuanya memiliki peristiwanya masing-masing yang membawa setiap orang pada hikmah kehidupan sehingga ia dapat mengambil hikmah sebagai pelajaran.

Jika ada seseorang yang datang padamu membawa kebaikan, lalu itu membuatmu terlena dan lupa daratan, maka jangan heran ketika ia tidak lagi melakukan kebaikan padamu, karena itu semua demi kembalinya kebaikan. Demi kebaikan dirimu, orang lain, atau bahkan dirinya sendiri.

Abstrak

Tuhan menciptakan manusia itu berpasang-pasangan. Tanpa kita tahu apakah sepasang manusia itu si kaya&si kaya atau si kaya&si miskin, si sombong&si rendah hati atau si sombong&si sombong. Pun peristiwa begitu. Tuhan menciptakan peristiwa untuk diperoleh hikmahnya. Tanpa kita tahu apakah nanti merasakan kesedihan, kesakitan, kesengseraan, kenikmatan atau kebahagian. Itu sudah menjadi rahasiaNya, sampai kita sendiri yang menemukan hikmahnya melalui keikhlasan.

Setiap manusia memiliki karakter yang berbeda-beda dan sifat yang berubah-ubah. Namun terkadang ada manusia yang justru mencari yang sempurna dan lupa bersyukur.
Setiap manusia memiliki kesabaran dan ilmu memaafkan. Namun terkadang ada manusia yang lupa menghargai dan mengulangi kesalahan yang sama.
Setiap manusia memiliki kesedihan dan kekecewaan. Namun terkadang ada manusia yang tak saling peduli dan menutup kasih.

Kedua paragraf di atas mungkin terlihat abstrak. Tidak karuan. Tidak jelas.
Ada satu yang jelas terlihat adalah linangan air mata.

Jumat, 17 Maret 2017

How's the beginning and how's the happy ending

Semua berawal dari kata jodoh. Jodoh itu tidak ditunggu, tidak dinantikan, tidak hanya dimimpikan, dan tidak hanya dibayangkan. Jodoh itu dicari, berusaha menemukan, berupaya, dan berdoa mendapatkan yang terbaik di waktu yang terbaik.
Sampai dengan dipertemukannya dengan pasangan calon pengantin sebelum berjalannya suatu acara pernikahan pun, mungkin ada yang belum bisa dikatakan berjodoh. Karena pasangan calon pengantin juga bisa berlari ke pundak orang lain sebelum sebuah kalimat suci dalam ijab qabul dilayangkan.
Resepsi pernikahan hanya penyedap, ijab qabul saja pun sudah lengkap. Baik atau tidaknya sebuah bahtera rumah tangga tidak dilihat dari sebuah acara pernikahan. Acara boleh megah, tapi jika rumah tangga tak mendapat berkah, mengapa harus menikah dibalut dengan hal mewah?
Pernikahan tidak melulu soal 'the big party'. Menikah tak melulu soal 'aku dan kamu'
Pernikahan adalah ibadah, bukan foya-foya dalam pesta. Pernikahan itu sakral karena ada Tuhan di dalamnya. Pernikahan itu pintu menuju tahapan kehidupan yang indah bersama. Menikah adalah penyatuan sepasang insan manusia untuk beribadah, membangun segala kebaikan bahtera rumah tangga, saling mengembangkan diri dan memperbaiki, serta memperoleh amanah membimbing insan kecil menuju kebaikan yang hakiki. Menikah bukan hanya dimiliki sepasang insan yang saling cinta, namun juga dimiliki dan dirasakan kebahagiaannya oleh keluarga besar. Meskipun puluhan bahkan ratusan keluarga besar dengan karakter yang berragam memiliki visi dan misi yang sama, belum tentu mereka mempunyai cara yang sama, mudah, cepat, dan penuh makna. Menikah bukan tentang rentang waktu sehari atau 3 jam proses resepsi pernikahan, melainkan merupakan proses kehidupan yang sangat panjang hingga maut memisahkan
Jika menikah itu perkara bersama, sakral, dan menuju ridho Allah, mengapa logika dapat mengalahkan nyawa sebuah pernikahan itu sendiri? Then, how's the ending you want?

Jumat, 27 September 2013

Belajar Dari Pelajaran: 'Meremehkan'

Pelajaran: Meremehkan.

Banyak orang yang selalu berpikiran negatif tentang orang lain maupun masa depan. Tapi saya harap masih ada sejumlah orang yang memandang segala sesuatunya dari segi positif tanpa menampik adanya kemungkinan buruk.

Salah satu contoh sikap seseorang yang berpikiran negatif adalah meremehkan orang lain. Meremehkan orang lain memang sangat mudah dilakukan seperti menginjak kecoa di lantai. Tapi ingatlah, apapun alasannya, meremehkan orang lain itu bisa jadi menyakiti hati orang lain. Pasti semua juga tau sejak SD bahwa menyakiti hati orang lain itu tercela. Wajib disadarkan pula bagi orang yang telah meremehkan sesuatu atau seseorang bahwa; pertama, semua hal di dunia ini mengalami tahap proses. Tidak ada bayi umur 1 minggu yang langsung bisa berjalan bukan? Kedua, tidak semua bayi yang lahir di dunia ini diciptakan kaya raya, maksudnya takdir setiap manusia tidak ada yang tau kecuali Allah SWT karena Allah telah menciptakan manusia berbeda-beda satu sama lain, dari segi jenis kelamin, warna kulit, jenis rambut, bahkan nasibnya sekalipun. Ketiga, tolak ukur "sukses" pada setiap orang berbeda-beda. Mungkin saya bisa mengatakan bahwa kekayaan 1 Milyar itu sangat luar biasa, tapi berbeda dengan orang terkaya di Indonesia (berdasarkan http://www.bisnis.com/25-orang-terkaya-indonesia-versi-forbes), yaitu R. Budi Hartono bisa saja menganggap kekayaan sebesar itu hanyalah biasa. Keempat, sudahkah berkaca pada diri sendiri dan tanyakan pada diri sendiri, jika kau diposisikan seperti itu, apakah kau sanggup menjalaninya?

Ada suatu alasan kenapa saya membuat statement seperti yang di atas, yaitu karena sebuah kisah menyakitkan, mengenaskan dan sekaligus berharga ini, telah diungkit-ungkit oleh seseorang yang meremehkannya. Orang itu telah meremehkan mantan pacar alias teman baik saya sejak tahun lalu alias teman biasa sejak beberapa bulan lalu. Ya, teman biasa (baca: bisa jadi musuh. hihi). Orang itu telah meremehkan dia yang menurut saya adalah sosok yang berarti untuk hidup saya. Biarpun statusnya mantan pacar, saya tetap mengaguminya sekaligus sebal. hehehe. Okay, fokus. Meskipun banyak derita, sedih, tangis, haru biru, super kecewa dan ekstra sakit hati, tapi saya tetap harus bersyukur atas apa yang telah terjadi. Berikut alasannya: He was my favorite young entrepreneur and my life-helper. He has a lot of wonderful idea in his mind. He changed my mind with his advice about life. Dan ketika orang itu berpikir buruk tentangnya, jelas dalam hati kecil ini berkata "sungguh ku tak rela".

Orang itu tak tau siapa yang telah menasihati saya tentang hidup sehingga saya dapat meninggalkan jiwa kekanak-kanakan dan menyambut jiwa dewasa saya. It's $ (sebut saja "dollar"). Orang itu telah meremehkan kinerja $ dalam berbisnis padahal orang itu belum pernah menjalani hidup sebagai entrepreneur. Jika demikian keadaannya, wajarkah orang itu meremehkan $??? Orang itu tidak pernah mengobrol dengan $ sehingga akibatnya jelas bahwa orang itu tentu tidak mengenal $ secara mendalam, lalu wajarkah orang itu meremehkan $??
Masih banyak pertanyaan-pertanyaan seperti itu yang harus dimuntahkan pada orang-orang yang suka meremehkan orang lain supaya mereka sadar dan dapat menyikapi sikapnya. Semoga jumlah orang yang berpikir positif (tanpa menampikkan kemungkinan buruk) semakin banyak di dunia ini, sehingga hidup ini tidak terjadi iri, fitnah, su'udzon dan dengki. Amin.

Senin, 29 Juli 2013

Puisi: Doa Seorang Gadis


Banyak tempat ku lalui
Banyak hati ku selami
Tapi cuma dia yang terdalam

Sejatinya hati berhak memilih
Tapi takdir sudah jadi ketetapan
Cinta dirasakan semua orang
Tapi indahnya dirasakan oleh sepasang
Dan itu bukan aku

Tuhan,
Jika dia imamku dan anak-anakku kelak,
Mudahkanlah jalan kami untuk bersama 
Jika dia harus menjadi imam gadis lain,
Ikhlaskanlah hati ini

Tuhan,
Bahagiakan dia sesering ku tanam cintaku padanya,
Sebesar sayangku padanya,
Lebih lama daripada waktuku mencintainya

Tuhan,
Takdir hanyalah kuasaMu
Ku hanya bisa meminta
Semoga kami memang kau takdirkan bersama
Dalam sebuah ikatan suci dan ibadah padaMu
Amin.....