Di sebuah rumah sederhana di
tengah perkebunan karet, aku bertemu dengan ibunya, bapaknya, dan adik-adiknya
yang bernama Rhea, Gama, Lesta, dan Asya. Rhea adalah seorang anak gadis SMA sekaligus
kakak wanita tertua di rumah itu. Gama adalah saudara laki-laki kandung Rhea
yang masih bersekolah di SMP. Sedangkan Lesta dan Asya adalah anak balita yang
menjadi saudara tiri Rhea dan Gama.
Di sebuah rumah sederhana di
tengah perkebunan karet itu, ku berikan buah tangan kepada ibunya berupa buah
pir dan klengkeng kepada ibunya. Tak lama berselang setelah ku letakkan buah
tangan itu di dapur, aku kembali ke ruang tamu mereka. Aku duduk di sofa hijau
yang mengelilingi meja kaca bersama seorang lelaki yang ku ajak berkunjung
kesana. Ia bertubuh besar, mengenakan pakaian rapi dan kaca mata.
Tak lama berselang, muncul bapaknya
yang baru saja pulang ke rumah. Aku awali pembicaraan dengan menanyakan segala
sesuatu untuk menghangatkan suasana. Belum selesai aku berbasa-basi dengan
bapaknya, temanku memberiku isyarat agar aku menjelaskan mengenai tujuan kami
kesana. Tanpa berpikir panjang, aku bersiap menceritakan segalanya sesuai
rencana. Setelah mengawali pembicaraan dengan memperkenalkan seorang laki-laki
yang bersamaku adalah temanku, aku mulai menceritakan tujuanku kesana. Aku mengatakan
kepada bapaknya bahwa anak sulungnya yang bernama Sigit telah melakukan
pinjaman kepadaku sejak 6 tahun lalu sampai dengan saat ini dengan jumlah akumulasi
yang sangat besar. Jika masih ada anak tahun 1990-an yang mengingat iklan wafer
tango, mungkin boleh ku katakan utang Sigit sudah seperti lapisan wafer tango
dengan angka 0 yang banyak di belakangnya. Ratusan juta rupiah.
Entah apa yang dipikirkan oleh
bapaknya setelah aku menceritakan hal itu. Yang ku tahu, ia mulai menyalakan
rokoknya sejak aku bercerita. Tak berhenti ia menghirup dan menghembuskan asap
tebal dari mulutnya. Tak peduli siapa pun orang yang di ruangan itu ia terus merokok.
Mungkin ia melakukannya untuk menutupi hatinya yang kecewa dan rapuh. Mungkin ia
melakukannya untuk menutupi batin dan tangannya yang gemetar.
Di penghujung cerita tentang
utang piutang itu, anak paling sulung di rumah itu datang. Sigit berjalan
menghampiri ruang tamu tempat kami berbincang dengan membawa senyum ringan tanpa
rasa berdosa. Bapaknya kembali menjelaskan tujuan dan maksud kedatanganku di
rumah itu kepada Sigit. “Jadi Sita ini datang kemari untuk bersilaturahmi ke keluarga kita sekalian menyelesaikan
sesuatu yang belum kamu selesaikan, Git”, ujar bapaknya.
Belum sempat aku bercerita
tentang perilaku anak sulungnya secara keseluruhan, bapaknya sudah mulai
berbicara panjang lebar. Terlihat apa yang ia rasakan dari apa yang ia
ungkapkan. Aku bisa melihat segala kekecewaan, kesedihan, penyesalan, dan malu.
Meskipun semua itu ia rasakan, namun ia masih membela anaknya dengan caranya.
***
(to be continued)
(to be continued)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar