Selasa, 17 Oktober 2017

Story 1: Pihakku dan Keluarganya

Di sebuah rumah sederhana di tengah perkebunan karet, aku bertemu dengan ibunya, bapaknya, dan adik-adiknya yang bernama Rhea, Gama, Lesta, dan Asya. Rhea adalah seorang anak gadis SMA sekaligus kakak wanita tertua di rumah itu. Gama adalah saudara laki-laki kandung Rhea yang masih bersekolah di SMP. Sedangkan Lesta dan Asya adalah anak balita yang menjadi saudara tiri Rhea dan Gama.

Di sebuah rumah sederhana di tengah perkebunan karet itu, ku berikan buah tangan kepada ibunya berupa buah pir dan klengkeng kepada ibunya. Tak lama berselang setelah ku letakkan buah tangan itu di dapur, aku kembali ke ruang tamu mereka. Aku duduk di sofa hijau yang mengelilingi meja kaca bersama seorang lelaki yang ku ajak berkunjung kesana. Ia bertubuh besar, mengenakan pakaian rapi dan kaca mata.

Tak lama berselang, muncul bapaknya yang baru saja pulang ke rumah. Aku awali pembicaraan dengan menanyakan segala sesuatu untuk menghangatkan suasana. Belum selesai aku berbasa-basi dengan bapaknya, temanku memberiku isyarat agar aku menjelaskan mengenai tujuan kami kesana. Tanpa berpikir panjang, aku bersiap menceritakan segalanya sesuai rencana. Setelah mengawali pembicaraan dengan memperkenalkan seorang laki-laki yang bersamaku adalah temanku, aku mulai menceritakan tujuanku kesana. Aku mengatakan kepada bapaknya bahwa anak sulungnya yang bernama Sigit telah melakukan pinjaman kepadaku sejak 6 tahun lalu sampai dengan saat ini dengan jumlah akumulasi yang sangat besar. Jika masih ada anak tahun 1990-an yang mengingat iklan wafer tango, mungkin boleh ku katakan utang Sigit sudah seperti lapisan wafer tango dengan angka 0 yang banyak di belakangnya. Ratusan juta rupiah.

Entah apa yang dipikirkan oleh bapaknya setelah aku menceritakan hal itu. Yang ku tahu, ia mulai menyalakan rokoknya sejak aku bercerita. Tak berhenti ia menghirup dan menghembuskan asap tebal dari mulutnya. Tak peduli siapa pun orang yang di ruangan itu ia terus merokok. Mungkin ia melakukannya untuk menutupi hatinya yang kecewa dan rapuh. Mungkin ia melakukannya untuk menutupi batin dan tangannya yang gemetar.

Di penghujung cerita tentang utang piutang itu, anak paling sulung di rumah itu datang. Sigit berjalan menghampiri ruang tamu tempat kami berbincang dengan membawa senyum ringan tanpa rasa berdosa. Bapaknya kembali menjelaskan tujuan dan maksud kedatanganku di rumah itu kepada Sigit. “Jadi Sita ini datang kemari untuk bersilaturahmi  ke keluarga kita sekalian menyelesaikan sesuatu yang belum kamu selesaikan, Git”, ujar bapaknya.

Belum sempat aku bercerita tentang perilaku anak sulungnya secara keseluruhan, bapaknya sudah mulai berbicara panjang lebar. Terlihat apa yang ia rasakan dari apa yang ia ungkapkan. Aku bisa melihat segala kekecewaan, kesedihan, penyesalan, dan malu. Meskipun semua itu ia rasakan, namun ia masih membela anaknya dengan caranya.

***

(to be continued)



Selasa, 15 Agustus 2017

Demi Kebaikan

Semua orang pernah merasakan sedih, bahagia, sedih lagi, bahagia lagi, dan seterusnya.
Semua orang pernah merasakan hidup susah, lalu bahagia, pedih, bahagia lagi, kecewa, muak, dan seterusnya.
Semuanya memiliki dinamikanya masing-masing yang membawa setiap orang pada kedewasaannya masing-masing.
Semuanya memiliki peristiwanya masing-masing yang membawa setiap orang pada hikmah kehidupan sehingga ia dapat mengambil hikmah sebagai pelajaran.

Jika ada seseorang yang datang padamu membawa kebaikan, lalu itu membuatmu terlena dan lupa daratan, maka jangan heran ketika ia tidak lagi melakukan kebaikan padamu, karena itu semua demi kembalinya kebaikan. Demi kebaikan dirimu, orang lain, atau bahkan dirinya sendiri.

Abstrak

Tuhan menciptakan manusia itu berpasang-pasangan. Tanpa kita tahu apakah sepasang manusia itu si kaya&si kaya atau si kaya&si miskin, si sombong&si rendah hati atau si sombong&si sombong. Pun peristiwa begitu. Tuhan menciptakan peristiwa untuk diperoleh hikmahnya. Tanpa kita tahu apakah nanti merasakan kesedihan, kesakitan, kesengseraan, kenikmatan atau kebahagian. Itu sudah menjadi rahasiaNya, sampai kita sendiri yang menemukan hikmahnya melalui keikhlasan.

Setiap manusia memiliki karakter yang berbeda-beda dan sifat yang berubah-ubah. Namun terkadang ada manusia yang justru mencari yang sempurna dan lupa bersyukur.
Setiap manusia memiliki kesabaran dan ilmu memaafkan. Namun terkadang ada manusia yang lupa menghargai dan mengulangi kesalahan yang sama.
Setiap manusia memiliki kesedihan dan kekecewaan. Namun terkadang ada manusia yang tak saling peduli dan menutup kasih.

Kedua paragraf di atas mungkin terlihat abstrak. Tidak karuan. Tidak jelas.
Ada satu yang jelas terlihat adalah linangan air mata.

Jumat, 17 Maret 2017

How's the beginning and how's the happy ending

Semua berawal dari kata jodoh. Jodoh itu tidak ditunggu, tidak dinantikan, tidak hanya dimimpikan, dan tidak hanya dibayangkan. Jodoh itu dicari, berusaha menemukan, berupaya, dan berdoa mendapatkan yang terbaik di waktu yang terbaik.
Sampai dengan dipertemukannya dengan pasangan calon pengantin sebelum berjalannya suatu acara pernikahan pun, mungkin ada yang belum bisa dikatakan berjodoh. Karena pasangan calon pengantin juga bisa berlari ke pundak orang lain sebelum sebuah kalimat suci dalam ijab qabul dilayangkan.
Resepsi pernikahan hanya penyedap, ijab qabul saja pun sudah lengkap. Baik atau tidaknya sebuah bahtera rumah tangga tidak dilihat dari sebuah acara pernikahan. Acara boleh megah, tapi jika rumah tangga tak mendapat berkah, mengapa harus menikah dibalut dengan hal mewah?
Pernikahan tidak melulu soal 'the big party'. Menikah tak melulu soal 'aku dan kamu'
Pernikahan adalah ibadah, bukan foya-foya dalam pesta. Pernikahan itu sakral karena ada Tuhan di dalamnya. Pernikahan itu pintu menuju tahapan kehidupan yang indah bersama. Menikah adalah penyatuan sepasang insan manusia untuk beribadah, membangun segala kebaikan bahtera rumah tangga, saling mengembangkan diri dan memperbaiki, serta memperoleh amanah membimbing insan kecil menuju kebaikan yang hakiki. Menikah bukan hanya dimiliki sepasang insan yang saling cinta, namun juga dimiliki dan dirasakan kebahagiaannya oleh keluarga besar. Meskipun puluhan bahkan ratusan keluarga besar dengan karakter yang berragam memiliki visi dan misi yang sama, belum tentu mereka mempunyai cara yang sama, mudah, cepat, dan penuh makna. Menikah bukan tentang rentang waktu sehari atau 3 jam proses resepsi pernikahan, melainkan merupakan proses kehidupan yang sangat panjang hingga maut memisahkan
Jika menikah itu perkara bersama, sakral, dan menuju ridho Allah, mengapa logika dapat mengalahkan nyawa sebuah pernikahan itu sendiri? Then, how's the ending you want?